Jumat, 25 Mei 2012

Ternyata Jadi Anak Kost Itu?




Ternyata Jadi Anak Kost Itu?
Oleh : Sofa Priyandayani Nasution

Melepaskan status seorang anak SMA menjadi kebanggaan tersendiri buatku. Telah lama ku impikan menjalanai hidup dengan status mahasiswa. Yang tak lagi menggali ilmu di sekolah melainkan di kampus, tak ada baju seragam putih abu-abu tetapi seragam bebas yang sopan, bisa memakai sepatu berwarna-warni tanpa ada razia seperti di SMA dulu.

Bahagia! Sangat bahagia saat mengetahui aku lulus dari SMA ku ditambah dengan kebahagiaan karena aku juga lulus masuk PTN di kotaku. Terima kasih Tuhan yang telah mendengar doa’ku.
Namun, PTN tempatku melanjutkan pendidikan  sangat jauh dari rumah orang  tuaku. Sangat mustahil jika aku harus pulang-pergi dari rumah ke kampus yang memakan waktu 12 jam itu, yang ada aku bisa terlambat setiap hari.
“Kostkah atau tiggal di rumah saudara?” tanya mamaku kepadaku. Awalnya aku membayangkan bahwa menjadi anak kost itu bukanlah hal yang buruk. Pendapatku juga didukung dengan kakak-kakak kelas yang juga ngekos demi melanjutkan studynya. Kata mereka ngekost itu menjadi mandiri, segalanya dilakukan sendiri. Bahkan ada juga yang mengatakan jadi anak kost itu menyenangkan dan bebas dari omelan orang tua.
“Oke, aku buktikan!” batinku. Aku memilih ngekost dibandingkan tinggal di rumah saudara. Apalagi aku dan saudaraku itu kurang begitu dekat satu sama lain. Demi membuktikan argument-argument yang ada aku  memasuki satu-persatu tempat kost-kostan yang ada disekitar kampus. Aku juga meminta tolong kepada kakak senior untuk memberikan alamat-alamat kost yang aman dan dekat dengan kampus tentunya.
Dapat! Akhirnya aku mendapat tempat kost-kostan yang aman, bersih dan dekat dengan kampus. Kalau kawan aku bilang “terpelset sampai”. Aku pun memberitahukan kepada orang tuaku bahwa aku telah mendapatkan tempat kost yang nyaman.
Sehari sebelum aku resmi menjadi seorang anak kost, aku yang ditemani  saudaraku pergi ke pasar untuk membeli barang-barang yang dibutuhkan seorang anak kost. Aku begitu bersemangat. Rasanya seperti kita hendak memiliki rumah sendiri. Lemari pakaian, tempat tidur, dispenser, rice cooker, ember, piring dan lain sebagainya aku beli untuk peresmianku sebagai anak kost. Ya Tuhan, ini sangat menyenangkan. Hal ini juga tak pernah aku lakukan sebelumnya selama aku masih SMA. Segalanya mama, beli ini mama, beli itu mama. Dan sekarang aku melatih kemandirian di kost baruku, tempat kost pertamaku.
Bertemu teman baru, lagi-lagi aku bertemu teman baru. Selain teman kuliah aku juga dapat teman baru di kostku. Mereka juga kuliah di tempat yang sama denganku, namun dengan jurusan yang berbeda.
Resmi jadi anak kost. Di hari pertamaku menjadi anak kost aku gelagapan untuk mencari makanan untuk makan malam. Alhamdulillah, banyak orang-orang yang berjualan sepanjang jalan di depan kostku. Kali ini aku bebas memilih menu makan malam yang aku suka. Tak ada omelan mama yang melarangku untuk memakan mie instans sebelum makan nasi. Entah teori dari mana aku juga tak tahu.
Aku juga bebas begadang didepan notebookku dan bermain sepuasnya di dunia maya, menari-narikan jemariku di atas keyboard tanpa memperhatikan tuan jam beker yang sedari tadi berdetak menginformasikan bahwa malam kian larut.
Ditambah lagi, tak ada omelan mama di pagi hari, tak seperti biasanya yang selalu berkicau seperti burung-burung gereja. Aku lagi-lagi bebas bangun pagi tanpa harus ontime seperti biasanya jika jam mata kuliah dimulai jam 10 pagi.
Jadi anak kost itu menyenangkan. Aku pergi keluar dengan temanku tanpa ada sms mama yang selalu text me untuk menanyakan “ kakak dimana?” “ kakak cepat pulang”. Hm, aku seperti burung yang baru dilepas dari sangkarnya, rasanya begitu bebas, free dan aku benar-benar enjoy it.
Namun, setelah hari berganti menjadi minggu, minggu berganti menjadi bulan, rasanya aku juga bosan dengan kebiasaan-kebiasaan baruku yang menjamur menjadi kebiasaan buruk. Sering sekali aku lalai sholat subuh jika bangun kesiangan. Tugas-tugas kuliahku terabaikan dan sering sekali tak kukerjakan jika aku terlalu lama bermain di dunia maya dengan facebook dan twitterku.  Perutku juga berontak dan sering sakit karena selalu makan mie instan sebagai menu sarapan, makan siang dan juga makan malam.
“Mama!!!” sering aku menangis saat aku tak tahu pada siapa aku mengadu jika maagku kambuh. Siapa yang akan ku marahi jika aku telat bangun dan tak ada yang membanguni. Kepala pusing karena terlalu sering online. “Mama, kakak kangen omelan mama!” batinku menjerit tiap kali aku tak tau harus berbuat apa.
Ternyata jadi anak kost tak seindah yang orang yang katakan. Kost seperti dunia baru bagiku yang benar-benar memaksaku untuk melatih diri menjadi orang yang lebih dewasa dan mandiri. Yang tak akan menangis saat pasta gigi habis karena lupa membelinya, yang tak akan menangis jika terlalu banyak pakaian kotor yang menumpuk dan tak akan lalai menjalankan kewajiban yang wajib dilakukan setiap hari.
Untuk pertama kalinya aku menjadi seorang anak kost rasanya memang begitu indah, pahit, manis, bahagia, bebas dan juga rindu omelan mama. Namun hidup adalah pilihan dan aku telah memilih. Meskipun harus hidup menjadi seorang anak kost demi kuliahku dan masa depanku.
“Selamat datang dunia baruku, koster… I’m coming
                                                                          ###


0 komentar:

Posting Komentar