Ternyata Jadi Anak Kost Itu?
Oleh
: Sofa Priyandayani Nasution
Melepaskan
status seorang anak SMA menjadi kebanggaan tersendiri buatku. Telah lama ku
impikan menjalanai hidup dengan status mahasiswa. Yang tak lagi menggali ilmu
di sekolah melainkan di kampus, tak ada baju seragam putih abu-abu tetapi
seragam bebas yang sopan, bisa memakai sepatu berwarna-warni tanpa ada razia
seperti di SMA dulu.
Bahagia!
Sangat bahagia saat mengetahui aku lulus dari SMA ku ditambah dengan
kebahagiaan karena aku juga lulus masuk PTN di kotaku. Terima kasih Tuhan yang
telah mendengar doa’ku.
Namun,
PTN tempatku melanjutkan pendidikan sangat jauh dari rumah orang tuaku. Sangat mustahil jika aku harus
pulang-pergi dari rumah ke kampus yang memakan waktu 12 jam itu, yang ada aku
bisa terlambat setiap hari.
“Kostkah
atau tiggal di rumah saudara?” tanya mamaku kepadaku. Awalnya aku membayangkan
bahwa menjadi anak kost itu bukanlah hal yang buruk. Pendapatku juga didukung
dengan kakak-kakak kelas yang juga ngekos demi melanjutkan studynya. Kata mereka ngekost itu menjadi mandiri, segalanya
dilakukan sendiri. Bahkan ada juga yang mengatakan jadi anak kost itu
menyenangkan dan bebas dari omelan orang tua.
“Oke,
aku buktikan!” batinku. Aku memilih ngekost dibandingkan tinggal di rumah
saudara. Apalagi aku dan saudaraku itu kurang begitu dekat satu sama lain. Demi
membuktikan argument-argument yang ada aku
memasuki satu-persatu tempat kost-kostan yang ada disekitar kampus. Aku
juga meminta tolong kepada kakak senior untuk memberikan alamat-alamat kost
yang aman dan dekat dengan kampus tentunya.
Dapat!
Akhirnya aku mendapat tempat kost-kostan yang aman, bersih dan dekat dengan
kampus. Kalau kawan aku bilang “terpelset sampai”. Aku pun memberitahukan
kepada orang tuaku bahwa aku telah mendapatkan tempat kost yang nyaman.
Sehari
sebelum aku resmi menjadi seorang anak kost, aku yang ditemani saudaraku pergi ke pasar untuk membeli
barang-barang yang dibutuhkan seorang anak kost. Aku begitu bersemangat.
Rasanya seperti kita hendak memiliki rumah sendiri. Lemari pakaian, tempat
tidur, dispenser, rice cooker, ember, piring dan lain sebagainya aku beli untuk
peresmianku sebagai anak kost. Ya Tuhan, ini sangat menyenangkan. Hal ini juga
tak pernah aku lakukan sebelumnya selama aku masih SMA. Segalanya mama, beli
ini mama, beli itu mama. Dan sekarang aku melatih kemandirian di kost baruku,
tempat kost pertamaku.
Bertemu
teman baru, lagi-lagi aku bertemu teman baru. Selain teman kuliah aku juga
dapat teman baru di kostku. Mereka juga kuliah di tempat yang sama denganku,
namun dengan jurusan yang berbeda.
Resmi
jadi anak kost. Di hari pertamaku menjadi anak kost aku gelagapan untuk mencari
makanan untuk makan malam. Alhamdulillah, banyak orang-orang yang berjualan
sepanjang jalan di depan kostku. Kali ini aku bebas memilih menu makan malam
yang aku suka. Tak ada omelan mama yang melarangku untuk memakan mie instans
sebelum makan nasi. Entah teori dari mana aku juga tak tahu.
Aku
juga bebas begadang didepan notebookku dan bermain sepuasnya di dunia maya,
menari-narikan jemariku di atas keyboard tanpa memperhatikan tuan jam beker
yang sedari tadi berdetak menginformasikan bahwa malam kian larut.
Ditambah
lagi, tak ada omelan mama di pagi hari, tak seperti biasanya yang selalu
berkicau seperti burung-burung gereja. Aku lagi-lagi bebas bangun pagi tanpa
harus ontime seperti biasanya jika jam mata kuliah dimulai jam 10 pagi.
Jadi
anak kost itu menyenangkan. Aku pergi keluar dengan temanku tanpa ada sms mama
yang selalu text me untuk menanyakan
“ kakak dimana?” “ kakak cepat pulang”. Hm, aku seperti burung yang baru
dilepas dari sangkarnya, rasanya begitu bebas, free dan aku benar-benar enjoy it.
Namun,
setelah hari berganti menjadi minggu, minggu berganti menjadi bulan, rasanya
aku juga bosan dengan kebiasaan-kebiasaan baruku yang menjamur menjadi
kebiasaan buruk. Sering sekali aku lalai sholat subuh jika bangun kesiangan.
Tugas-tugas kuliahku terabaikan dan sering sekali tak kukerjakan jika aku
terlalu lama bermain di dunia maya dengan facebook dan twitterku. Perutku juga berontak dan sering sakit karena
selalu makan mie instan sebagai menu sarapan, makan siang dan juga makan malam.
“Mama!!!”
sering aku menangis saat aku tak tahu pada siapa aku mengadu jika maagku
kambuh. Siapa yang akan ku marahi jika aku telat bangun dan tak ada yang
membanguni. Kepala pusing karena terlalu sering online. “Mama, kakak kangen
omelan mama!” batinku menjerit tiap kali aku tak tau harus berbuat apa.
Ternyata
jadi anak kost tak seindah yang orang yang katakan. Kost seperti dunia baru
bagiku yang benar-benar memaksaku untuk melatih diri menjadi orang yang lebih
dewasa dan mandiri. Yang tak akan menangis saat pasta gigi habis karena lupa
membelinya, yang tak akan menangis jika terlalu banyak pakaian kotor yang
menumpuk dan tak akan lalai menjalankan kewajiban yang wajib dilakukan setiap
hari.
Untuk
pertama kalinya aku menjadi seorang anak kost rasanya memang begitu indah,
pahit, manis, bahagia, bebas dan juga rindu omelan mama. Namun hidup adalah
pilihan dan aku telah memilih. Meskipun harus hidup menjadi seorang anak kost
demi kuliahku dan masa depanku.
“Selamat
datang dunia baruku, koster… I’m coming”
###
0 komentar:
Posting Komentar